Notification

×

Kategori Berita

Cari Cerita

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Entri yang Diunggulkan

DIJADIKAN TUMBAL PESUGIHAN

  Kang Asep Hidayat DIJADIKAN TUMBAL PESUGIHAN By. Kang Asep Hidayat Assalamualaikum, salam sejahtera buat sahabat kang Asep Hidayat semua ...

Indeks Berita

Iklan

Waktu sandakala

Senin, 08 Februari 2021 | Februari 08, 2021 WIB Last Updated 2021-02-08T05:22:43Z

 

 
 

 
 
 
Waktu Sandekala

"Nanti jadi jagong di rumah Bu Warti kan, Mbak? Kita berangkat bareng ya, Mbakyu!"
"Mau berangkat jam berapa, De?" tanyaku pada Hasti adikku.
"Jam 5 sore saja, Mbak. Lagian dekat jadi kita sebentar saja," jawabnya.
Kumandang azan asar baru saja terdengar. Aku bergegas ambil wudu dan solat. Rencana sebelum pergi ke tempat Bu Warti dengan Hasti aku mau masak dulu. Menyiapkan makanan untuk suami dan ketiga anakku.
Rumahku masih satu komplek dengan adikku satu-satunya. Setelah orang tua kami tidak ada, kami jadi lebih akrab dan saling membutuhkan, bahkan tidak segan untuk saling bantu jika ada perlu. Walaupun sudah punya keluarga masing-masing.
Aku sebenarnya lima bersaudara, Hasti anak bungsu, aku kakak di atasnya persis. Dan ketiga saudaraku semua di luar kota. Jarang bersua jika tidak menyempatkan waktu. Masing-masing sibuk bekerja.
"Mbak aku udah siap, kita berangkat yuk!" Hasti masuk langsung ke dapur. Kegiatan memasakku selesai, tinggal membersihkan dapur saja.
"Iya, sebentar Mbak mandi dulu."
"Kalau mau nyicipin masakan tinggal kamu buka tutup sajinya, De! Mbak masak balado kentang kesukaanmu," jawabku sambil bergegas menuju kamar mandi.
Bedak dan lipstik kupoles tipis di wajah, agar terlihat segar saat bertemu orang. Hasti sudah siap di atas motor.
"Mbak nanti kita enggak boleh lama-lama lo, takut nabrak waktu sandekala. Aku enggak mau nanti pas lewat jembatan depan gilingan padi udah gelap, di situ seram Mbak," ucapnya sambil memacu sepeda motor.
"Hush, ngomong apa sih, hari gini masih percaya gitu-gitu. Baiknya kita itu doa yang banyak minta perlindungan Allah," jawabku.
"Ih Mbak Hani enggak percaya, kemarin ada tetangga lewat situ katanya hampir celaka, sebelahnya-kan jalannya agak curam nah motornya hampir masuk ke situ karena kaget melihat penampakan, Hiiii ...," celoteh Hasti.
Aku abaikan omongan Hasti, sepanjang jalan hanya menikmati suguhan pemandangan hijau sawah yang sebentar lagi masuk musim panen. Sejauh mata memandang hamparan hijau padi yang sudah mulai menguning.
Jarak rumah dengan tempat Bu Warti hanya ditempuh kurang lebih sepuluh menit, melewati jalan kampung yang masih sepi. Termasuk melewati jembatan di depan gilingan padi milik juragan Darno.
Sebenarnya cerita Hasti bukan ini saja aku dengar, sering tetangga cerita tentang pengalamannya lewat jembatan itu saat sandekala. Waktu pergantian dari siang ke malam, tepatnya saat waktu maghrib.
Aku memilih apatis, tidak terlalu peduli dengan cerita-cerita heboh itu. Yang aku yakini, hal ghaib itu ada, dan kita wajib percaya. Akan tetapi jangan sampai kita terhanyut dan memahami jika manusia tidak lebih mulia dibanding mahluk tak kasat mata itu. Sudah jelas manusia jauh lebih tinggi kedudukannya. Apalagi sampai tergelincir pada kesyirikan. Naudzubillah.
"Mbak jilbabnya di rapikan, tuh ada yang kurang pas!" ucap Hasti saat sampai tujuan.
"Cerewet banget dari tadi!" Kucubit lengan adikku itu dengan keras.
"Owh! Diperhatiin enggak mau, dasar aneh," jawabnya sambil bibirnya dimoncongin lima senti.
Meski sudah sama-sama tua, aku dan Hasti masih sama kelakuannya saat masih anak-anak.
Di tempat acara masih banyak tamu datang, satu persatu bergantian. Setelah ketemu Bu Warti tuan rumah aku berniat pamit. Namun
rencana gagal, aku bertemu sahabat lama saat SD. Ia datang dari luar kota karena Bu Warti masih ada hubungan saudara. Kami ngobrol panjang dan aku menikmatinya. Tidak terasa sudah hampir gelap.
"Ayuk, Mbak buruan! Dari tadi aku nunggu lama banget ngobrolnya," protes Hasti.
"Apa kita nunggu waktu sandekala lewat pulangnya, sekalian nanti mampir musola dekat sini," usulku.
"Enggak kita pulang aja, aku harus siapin makan buat bocah di rumah, pasti mereka udah enggak sabar nunggu," jawabnya.
Terpaksa aku turuti ide Hasti. Meski terbesit perasaan aneh. Tidak seperti biasa, aku mendadak takut dan khawatir. Jangan-jangan nanti ada hal buruk yang akan menimpa kami.
Astaghfirullah. Segera aku tepis pikiran itu. Aku pasrah membonceng Hasti yang diam sejak keluar dari parkiran. Sepertinya ia dongkol menunggu aku ngobrol tadi.
Langit sore berangsur redup dan gelap, laju sepeda motor aku rasakan lama sekali, pelan dan jalannya berlahan.
"Has, motornya ko pelan banget?" tanyaku.
"Iya, Mbak, aku juga enggak tahu, perasaan aku sudah memacu gas seperti biasa, tapi ko rasanya tidak sampai-sampai. Rasanya berat sekali, Mbak," jawabnya.
Kudukku meremang, aku perhatikan sekeliling jalan. Sepi dan hanya semburat warna jingga di ujung langit sedikit membuat jalanan terang.
"Aku merasa aku sedang membonceng orang lima, Mbak," teriak Hasti.
Menyadari ada yang berbeda, aku lafalkan doa sebisaku. Terus minta perlindungan Allah.
"Astagfirullah ... awas, Mbak!"
Bruk!
Sepeda motor kami jatuh tersungkur di pinggir jalan, nyaris masuk jurang di sebelahnya. Allah masih melindungi. Aku segera bangkit, dan menolong Hasti yang tertindih badan motor.
"Aku enggak apa, Mbak," ucapnya sambil berusaha berdiri dan menyalakan motor lagi.
Aku termangu melihat Hasti begitu cepat bangkit.
"Mbak, Ayuk! Buruan!" perintahnya.
Aku bergegas menaiki sepeda motor lagi dan masih diam seribu bahasa. Kejadian tadi begitu cepat dan masih menyisakan tanda tanya.
Berbeda dengan tadi, laju motor kali ini begitu ringan, dalam hitungan menit sudah sampai rumah. Napas Hasti terengah-engah.
"Mbak tahu kenapa tadi kita jatuh?"
"Enggak, Mbak juga kaget," jawabku.
"Aku melihat ada ular sebesar pohon kelapa melintas, menyebrangi jalan di jembatan tadi," lanjutnya sambil bergidik.
"Dan aku menyadari yang tadi bonceng bukan hanya, Mbak. Tapi ada orang lain yang sejak jatuh pergi menghilang persis di jembatan itu," kata Hasti lagi.
"Ya Allah ... untung kita enggak celaka masuk jurang tadi, kita masih dilindungi Allah, Alhamdulillah," ucapku sambil bergegas pamit.
"Segera ambil wudu, solat mahrib dan banyak berdoa sama Allah!" pesanku pada Hasti.
"Sekarang, Mbak percaya kan? Omongan tetangga benar," tanya Hasti lagi sebelum aku benar-benar pulang.
Aku hanya tersenyum, tidak menjawab pertanyaannya. Aku akui tadi aku memang takut, bahkan sampai gemetar. Akan tetapi dari pengalaman tadi semakin membuatku yakin, kita memang hidup berdampingan dengan Makhluk ciptaan Allah yang lain.
Selesai
Jogja, 25 Januari 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Cerita Terbaru Update