Notification

×

Kategori Berita

Cari Cerita

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Entri yang Diunggulkan

DIJADIKAN TUMBAL PESUGIHAN

  Kang Asep Hidayat DIJADIKAN TUMBAL PESUGIHAN By. Kang Asep Hidayat Assalamualaikum, salam sejahtera buat sahabat kang Asep Hidayat semua ...

Indeks Berita

Iklan

JANJI DINI HARI 1

Rabu, 30 Desember 2020 | Desember 30, 2020 WIB Last Updated 2020-12-30T12:07:58Z

Oleh : Aras anggoro

 

 

Siang menjelang sore. Aku berjalan mendekati seorang perempuan yang sedang duduk sendiri di Tugu Triangulasi, Puncak Gunung Gede. Kami berkenalan dan ngobrol panjang lebar hingga sampai ke topik tentang setan.

"Kamu ngga takut naik gunung sendirian?" tanyanya.

"Ngga. Takut apa?" Aku balik bertanya.

"Setan."

"Kan siang. Mana ada setan."

"Sejatinya setan mengganggu tanpa menunggu malam. Hubungan Setan dan kegelapan hanya ciptaan pikiran kalian. Setan mengganggu sepanjang waktu." perempuan itu menjelaskan panjang lebar. Aku mulai curiga dia akan segera ceramah agama.

"Tau darimana?" tanyaku, sekedar berusaha sopan.

Dia tersenyum lalu menatap mataku dan menjawab santai.

"Kamu pikir saya manusia?"

***

Butuh dua menit untuk mencerna kalimatnya dan butuh tiga menit untuk meredakan kepanikanku dan butuh lebih lama lagi untuk meredakan panik tadi. Dia masih duduk di tempatnya dan masih sama, tak berubah ke wujud apa pun. Matanya masih terus memandangku dan bibirnya masih tetap tersenyum. Tapi aura perempuan ini memang menggidikkan nyaliku.

"Jj.. jin?" tanyaku memastikan. Aku sedikit malu mendengar suaraku sendiri yang jelas bergetar.

"Jelas." Dia menjawab. Senyum itu masih belum hilang dari bibirnya. Angin yang naik dari bibir jurang memainkan poni rambutnya.

Keheningan diantara kami membuat suasana lebih awkward lagi. Aku bingung bagaimana harus bereaksi. Aku takut terlihat bodoh jika ini hanya prank, dan aku lebih takut lagi jika ini benar. Perempuan ini jelas menikmati kebingunganku. Beberapa kali dia membetulkan letak duduknya atau menyibakkan rambutnya dengan gerakan mendadak, menguji reaksiku.

Aku berusaha terus mengontrol kesadaranku dan menolak panik. Di sebelah kananku adalah kawah raksasa Gunung Gede, salah sedikit bisa celaka. Aku gelisah dan waspada andai dia berubah atau tiba-tiba melakukan gerakan mendadak. Tapi dia tetap disana. Diam dan tersenyum.

"Kamu ngga lari?" mendadak dia bertanya.

"Kenapa harus lari?" aku balik bertanya sambil berusaha menebak ke arah mana pertanyaannya barusan.

"Kan kamu sudah tau kalo aku jin. Kenapa ngga lari?"

"Tapi kamu keliatannya baik." Aku menjawab ragu.

Ada sedikit rona kecewa di wajahnya mendengar pernyataanku. Dia kembali membetulkan letak duduknya, kali ini langsung memandangku.

"Jin itu seperti manusia, ada yang baik dan ada yang jahat." Dia menjelaskan. Suaranya tetap lembut dan tenang.

"Kamu ngga baca-baca apa gitu?" dia meneruskan.

Aku tertegun mendengar pertanyaannya. Pertanyaan yang sama juga kutanyakan pada diri sendiri, walau tentu aku langsung tahu jawabannya, "Ngga hapal."

"Sayang banget. "

"Kk..kenapa?" tanyaku, mulai sedikit khawatir.

Alih-alih menjawab, dia hanya tersenyum dingin. Lagi-lagi keheningan yang aneh menyelimuti kami. Aku mengutuki diriku yang berani-beraninya mendaki sendiri. Sekarang, inilah yang kuhadapi.

Beberapa detik berlalu, dia masih duduk diam disana. Angin lembah kembali meniup rambutnya. Sesuatu mengetuk kesadaranku. Ini cuma prank murahan. Di suatu tempat ada kamera yang sedang merekam reaksi bodohku. Kewaspadaanku hilang digantikan amarah. Perempuan sakit jiwa ini mempermainkanku!

Dia tersenyum melihat perubahan sikapku yang membuat darahku kian mendidih, dan dia jelas nampak menikmatinya. Tak lama dia mulai terkekeh-kekeh dengan suara aneh. Suasana Puncak Gede berubah beku, semua mendadak diam, tak ada suara apapun. Aku terlambat menyadarinya.

Dengan matanya yang masih menatapku, kepala perempuan itu kelihatan bergetar dan semakin miring dengan posisi ganjil. Kedua tangannya kaku dan sedikit mengejang. Tubuhku membeku sementara kakiku bagai tertancap di tanah kala kulihat kepalanya pelan-pelan terpuntir dengan ganjil, miring lalu bersamaan dengan suara tulang retak lehernya putus. Darah terciprat dikakinya saat kepalanya jatuh dengan keras ke tanah lalu pelan-pelan menggelinding masuk jurang, meninggalkan hanya tubuh tanpa kepala di posisi semula. Mataku membelalak melihat darah terciprat dari patahan lehernya, seonggok tulang patah mencuat di tempat yang seharusnya adalah sambungan kepala.

Aku mematung melihat semua kejadian itu tanpa berkedip.

Tiba-tiba tubuh tanpa kepala itu bergerak maju dan menembus tubuhku sebelum aku mampu bereaksi apa pun.

Lalu gelap. 

 Seperti baru terbangun dari tidur, sinar matahari sore terasa menusuk saat aku membuka mata. Aku masih berdiri di tempat yang sama di waktu yang sama. Angin semilir membelai wajahku, menenangkan hatiku dan seakan mengajakku lebih lama di titik tertinggi Gunung Gede ini. Ada sensasi lucu saat kusenderkan punggung ke tugu triangulasi, rasa yang tak biasa, tapi aku suka.

Sudah saatnya Aku pergi.

Selimut malam sudah turun sepenuhnya saat aku menyusuri alun-alun timur Suryakencana. Langit malam dipenuhi bintang tanpa ada ada awan sedikit pun. Nampaknya malam ini akan luar biasa dingin. Para pendaki terlihat sibuk mempersiapkan makan malam di sekitar tendanya masing-masing. Beberapa menyapa mempersilahkanku mampir yang hanya kubalas dengan senyuman. Tujuanku sudah dekat, dua tenda merah yang berdiri paling ujung.

"Iseng amat sih? Ke puncak lagi ya?" Rio menyambutku dengan sikap sok khawatir khasnya. Padahal sekarang apa yang harus dikhawatirkan?

Aku tersenyum jahil dan menaikkan alisku alih-alih menjawab. Rio terus saja menatapku, aku paham dia meminta penjelasan.

"Tadi ada perempuan di puncak. Kita ngobrol-ngobrol biasa... "

"Terus?" Rio memotong dengan cepat.

"Yaa, biasa."

"Jangan dijadiin kebiasaan lah." nadanya mulai meninggi. Dia masih berpikir aku masih dibawah tanggung jawabnya. Sejak dulu Rio selalu begitu. Untunglah tenda pendaki lain tak ada yang didekat kami, pasti aneh kalau ada yang melihatku bertengkar dengan pohon edelweis.

"Mau menunggu sampai kapan? Berapa lama lagi, Rio? Kalian boleh aja diam dan menunggu, tapi aku ngga mau. Ini caraku!" suaraku kini juga ikut meninggi.

Rio tampak akan berbicara tapi segera kupotong, "kita ini sekarang sudah terlupakan! Kita ngga bisa terus diam," airmata mulai turun di pipiku, "atau kita ngga akan pernah ditemukan."

***

Rio diam berdiri saat aku berbalik dan pergi, aku pun tak menoleh lagi. Tak ada yang salah diantara kami, keinginan kami sama, hanya cara kami yang berbeda. Aku hanya tak ingin menunggu lebih lama lagi.

Angin dingin membelai wajahku, memainkan rambutku dan mengiris hatiku. Siluet hitam Puncak Gunung Gede yang nampak seperti nisan raksasa seakan menertawakanku.

Sebuah lagu yang indah terdengar dari dalam salah satu tenda yang kulewati. Bibirku refleks ikut bernyanyi bersama Milli Vanilli di reffrain lagu yang rasanya pas dengan keadaanku saat ini.

".. now i'm sittin here, i'm wastin my time. I just don't know what i should do.
It's a tragedy for me to see the dream is over. And i never will forget the day we met, girl i'm gonna miss you.. "

Mataku berkaca-kaca, sungguh lagu yang indah untuk kembali membuka luka. Semoga siapapun dirimu yang sedang mendengarkan lagu ini di tenda tadi selalu berbahagia. Aku berterima kasih.

Tak terbiasa dengan tubuh yang fana ini kerap kali memaksaku berhenti untuk mengambil nafas. Dalam keadaanku yang normal, aku mampu bergerak dari Alun-alun Suryakencana ke Puncak Gede atau Kandang Badak dalam sekejap. Tapi tidak dalam raga ini. Walau begitu aku tak ingin melepaskannya, dia terlalu sempurna. Mungkin setelah ini tak ada lagi kesempatan bagiku dalam seratus tahun.

Maafkan aku, ini kulakukan karena keterpaksaan dan keterbatasanku. Semoga hatinya yang sejajar dengan hatiku bisa merasakan apa yang kurasakan dan memakluminya.

Kutoleh sekali lagi tugu triangulasi. Hanya dia saksi bisu saat kuambil tubuh ini.
Aku berdiri memandang beberapa sorot lampu kepala yang kelihatan bergerak ke arahku. Jauhnya jarak, pohon-pohon dan kabut membuatku tak mampu memastikan jumlahnya. Mungkin sekitar tiga atau empat orang. Mata manusia memang tak bisa diandalkan, payah.

Tepat dibawah kakiku adalah simpul tali teratas Tanjakan Setan. Aku memutuskan menunggu orang-orang ini alih-alih turun. Sayup terdengar suara panggilan dari orang-orang di bawahku yang meneriakkan sebuah nama. Namaku.

Ketika suara-suara itu mendekat barulah bisa kupastikan jumlahnya. Dua orang laki-laki dan seorang perempuan.Tiga orang.

Tiga adalah bilangan ganjil.

Sebuah senter menyorot tepat ke wajahku disusul teriakan-teriakan dan ucapan-ucapan puji syukur. Suara-suara panik bercampur lega ditambah suara tangisan perempuan bergerak naik ke arahku. Ini terlalu drama buatku, lebih baik aku keluar dulu.

***

Nama orang-orang ini Dimas, Raka dan seorang yang perempuan bernama Putri. Dari ketiga orang ini hanya Dimas yang reaksinya paling baik. Mulai dari prosedur membawa tubuh yang pingsan menuruni jalur terjal Tanjakan Setan hingga ke tenda mereka di area Kandang Badak. Dia yang paling sibuk memberi instruksi cara paling cepat dan aman mengevakuasi. Dua yang lain terlalu sibuk dengan kebingungannya sendiri.

Saat akhirnya tiba di tenda dia juga yang berinisiatif memasak air dan membuat minuman panas. Yang tak dilakukannya sendiri hanya ketika dia meminta Putri untuk menggantikan baju yang basah karena keringat dengan yang kering.

Orang lain yang juga mendirikan tenda ditempat yang sama mulai berdatangan. Tapi tak ada yang bisa mereka lakukan, semua sudah dikerjakan Dimas. Jadi mereka hanya berkerumun di sekitar tenda dengan ekspresi wajah-wajah prihatin juga ekspresi ingin tahu. Beberapa yang bermental lemah, kebanyakan perempuan, menunjukkan wajah panik dan ketakutan. Bisik-bisik terdengar di antara mereka.

"Kesurupan?"

"Tadi ketemunya denger-denger di tanjakan Setan?"

"Gua kok jadi merinding ya?"

"Eh, beneran? Kok serem ya?"

"Kesurupan itu nular ngga sih?"

"Lagian perempuan berani banget naik sendiri.. "

Tapi ada efek samping yang lumayan menyenangkan dari situasi ini. Naiknya tensi dan ketegangan memaksa tubuh mereka mengeluarkan cadangan panas ekstra yang membuat tubuh mereka berkeringat di suhu dingin lembah Kandang Badak. Seharusnya mereka berterima kasih padaku.

Aku masih memilih terus memejamkan mata, menikmati setiap perhatian dan rasa khawatir dari orang-orang di sekitarku. Sudah lama aku tak merasakan kehangatan yang tulus dari manusia.

Ah, manusia. Tidakkah kalian sadar, keramahan, senyum tulus, kehangatan kalian adalah sesuatu yang indah. Mengapa harus menunggu bencana untuk menghadirkan itu semua?

Rasanya aku tak'kan pernah mengerti tentang manusia.

Aku dirawat dengan cukup baik. Pakaianku sudah diganti dengan yang kering. Emergency blanket berwarna perak membungkus tubuhku di balik kantung tidur yang dinaikkan sebatas bibir yang dimaksudkan untuk menjagaku agar tetap hangat.

Kuperhatikan tiga orang penolongku yang sedang ngobrol di depan tenda. Nampaknya mereka sedang membahas sesuatu yang seru. Dimas yang sedang berbicara terlihat menggerak-gerakkan tangan kirinya dengan ekspresif sementara tangan kanannya sibuk mengaduk kopi yang baru saja diseduh. Putri sambil mendengarkan dengan serius tapi masih menyempatkan membereskan peralatan masak. Sementara Raka dengan mata mengantuk dan setengah rebahan mendengarkan acuh tak acuh, memang selalu ada idiot pemalas dalam kelompok.

Sosok Dimas berlawanan dengan tampilan standar anak-anak penggiat alam yang umumnya urakan. Rambutnya rapih dengan belahan pinggir, wajahnya persegi yang cocok sekali dengan pipi tirusnya. Secara umum dia lebih mirip eksekutif muda yang biasa nongkrong di Sudirman. Melihat caranya menguasai diskusi, gerak tangannya dalam mengekspresikan yang sedang dibicarakan, mengingatkanku pada Rio.

Dulu sekali kami pun mendirikan tenda di sini. Aku ingat debat-debat panjang hingga larut malam kami. Sejak dulu Rio sudah menyebalkan, selalu memaksakan pendapat, menganggap dia yang paling benar sendiri, egosentris. Setelah tragedi, dia lebih bnayak diam tapi tetap menyebalkan. Lalu Raka, dia itu seperti Adi. Tipikal follower. Tidak banyak bicara tapi malasnya luar biasa. Dan lihatlah ini, obrolan tengah malam Rio, Mei dan Adi di masa kini.

"Mendaki gunung itu berbahaya, resikonya tinggi makanya kita sebaiknya naik berkelompok, gunanya ya saling back up, meminimalisir resiko. Jadi salah besar kalo dia berani-beraninya naik sendiri, perempuan lagi." suara Dimas berapi-api.

Melihat kedua pendengarnya nampaknya tak akan berbicara, dia kembali meneruskan, "Selagi di kota silahkan aja kalo mau sok jago, tapi di gunung jangan. Kalo kenapa-kenapa orang lain juga yang repot."

Raka mengangguk-angguk setuju, "mirip kita barusan dong ya?"

"Nah, itu," jawab Dimas, "dia sih enak aja pingsan, kita yang babak belur."

Owh, ternyata sedang membahas diriku? Menarik juga.

"Iya sih, lagian berani banget naik sendiri. Aku ketinggalan sendiri aja bisa nangis." Putri membeo pendapat Dimas.

''Jangan ya, Put. Kalo gua sama Raka ngga bisa, mendingan lu tahan dulu. Ngga usah maksain jalan sendiri. Bahaya." intonasi Dimas terdengar serius. Putri mengangguk-angguk dengan cepat.

Aku tersenyum. Benar-benar tipikal anak gunung.

***

Selepas mereka masuk ke tenda masing-masing, Lembah Kandang Badak kembali ditelan sunyi. Kabut putih melayang turun dari ketinggian kedua puncak yang mengapitnya: Gede dan Pangrango, membuat tempat ini menjadi sedingin es di malam-malam musim kemarau seperti malam ini.

Kabut itu melayang berputar-putar di antara tenda-tenda para pendaki yang sedang terlelap berselimut kantong tidur yang hangat. Sama sekali tak menyadari ada banyak sosok yang berkeliaran. Beberapa berhenti dan mengintip ke dalam tenda. Beberapa yang lain masuk dan menduduki wajah orang yang sedang tidur, membuatnya megap-megap kehabisan nafas dan membuatnya bangun hanya untuk mendapati dia tak tidur sendiri di tendanya. Beberapa yang lain masuk ke tubuh dan diam disana sepanjang umur orang itu. Hampir setiap pendaki pulang ke rumah dengan membawa satu-dua penghuni gunung di tubuhnya, mereka bahkan tak menyadarinya.

Lembah serta celah-celah gunung yang sepi adalah rumah kami, termasuk sadel Kandang Badak ini. Apakah kami terganggu? Tadinya seperti itu. Tapi lama kelamaan kami makin terbiasa. Seperti kami, manusia pun diperbudak egonya. Kelak, tak akan ada gunung tertinggi atau lautan terdalam yang belum terjamah manusia. Yang diperlukan oleh kami hanya cukup membiasakan diri.

Dan nyatanya kami terbiasa. Manusia ternyata lumayan memberi kami hiburan tersendiri. Lihatlah tenda paling ujung itu. Di dalamnya laki-laki dan perempuan yang belum muhrim sedang tidur berpelukan, tinggal sedikit usaha, lenyaplah iman. Kami tinggal menikmati adegan menjijikkan dari dua calon penghuni neraka.

Tapi jangan pernah coba-coba melakukan adegan itu di Alun-alun Suryakencana.

Dulu, Adi yang paling giat mengingatkan kami dalam menjaga adab. Aku menganggap wajar jika dia begitu. Dengan mata kepalanya sendiri dia pernah ditampakkan sosok Eyang Suryakencana kala dia mengalami kesulitan dan hampir celaka. Lalu jauh sebelumnya, dia juga tak akan mungkin selamat di Gunung Ciremai andai sosok itu tak menolongnya.  

Jam tanganku menunjukkan angka enam. Biasanya di jam ini cahaya matahari pertama mulai terlihat di antara rimbun pepohonan, namun cahaya itu tak kunjung datang. Nampaknya pagi ini mendung. Kabut tipis juga masih terlihat dimana-mana di antara pepohonan. Kabut juga menghalangi pandanganku ke jalur turun juga ke jalur miring yang mengarah ke puncak. Dikurung kabut seperti ini rasanya seperti sedang berada di alam lain.

Hanya tenda kami yang tersisa di Kandang Badak. Tenda lain pasti sudah berangkat ke Puncak untuk mengejar sunrise. Agak ganjil rasanya tak ada orang lain di tempat yang biasanya ramai.

Aku sudah bangun sejak subuh, sholat lalu diam menunggu. Akibat kejadian kemarin, mustahil buat kami untuk tetap mengikuti jadwal. Dan benar saja, sampai sekarang pun belum ada pergerakan apa pun di tenda mereka. Biar mereka istirahat dulu.

Barusan sempat kuintip tenda mereka masing-masing, semua tidur dengan damai. Sepertinya hanya aku yang mengalami kesulitan tidur. Berkali-kali aku terbangun tadi malam karena merasa ada sesuatu yang mengawasi. Ayu yang kesurupan pun tidurnya lebih nyenyak dariku.

Aku sering menghadapi kejadian orang-orang yang tiba-tiba kesurupan. Beberapa bisa dibujuk keluar baik-baik, tapi kebanyakan harus dengan cara paksa. Buatku itu biasa saja. Kita mendaki masuk ke wilayah makhluk tak kasat mata, pasti akan ada benturan. Tapi ada yang aneh disini. Buat ukuran orang yang kesurupan, Ayu terlalu tenang. Tidak ada drama teriak-teriak minta ini itu, tidak ada ketawa atau tangisan. Aneh.

Ada keanehan yang lain juga, ini yang membuatku lebih banyak diam tadi malam. Ada yang ganjil dengan Dimas dan Putri, tapi aku tak berani memikirkannya, khawatir jika dugaanku benar. Cara bicara dan gerak tangannya sama sekali bukan Dimas yang kukenal.

Setengah jam berlalu. Matahari benar-benar tak muncul pagi ini. Kabut mulai menebal dimana-mana membuat sekitarku semakin gelap. Kubayangkan matahari hanya terlihat seperti bercak di langit kelabu, cahayanya tak akan mampu menyibak selimut kabut di sekitarku.

Sudut mataku melihat sesuatu bergerak di balik pepohonan. Aku diam tak bergerak, berpura-pura tak tahu. Jelas bukan binatang. Bangsa hewan tak akan mau mendekati jalur pendakian para predatornya. Dan pastinya bukan manusia, dibalik pepohonan ini adalah jurang.

Aku bisa saja menyalakan senter yang tergeletak di sampingku. Tapi itu tak akan berguna untuk melihat makhluk tak kasat mata. Lagi pula aku cukup puas seperti ini, kegelapan menajamkan indera. Tinggal kutunggu penampakan apa yang akan muncul kali ini. Kandang Batu yang sering muncul biasanya sosok kuntilanak, tapi aku tak pernah tahu atau mendengar penampakan di Kandang Badak. Kulirik tenda teman-temanku, sepi. Aku benar-benar sendiri.

Semak di depanku bergerak dengan ganjil. Kabut yang melayang disekitarnya seakan memiliki nyawa sendiri. Keringat mulai basah di punggung dan dahiku. Tak salah lagi. Mereka sudah di sini.

 Kabut kelabu di balik pepohonan di depanku kian menebal. Perlahan namun pasti bayangan hitam pohon-pohon kurus yang lebih jauh hilang dari pandangan. Terus kuyakinkan diri ini bukanlah kabut biasa, hatiku terus berteriak agar waspada. Tanpa kusadari nafasku semakin cepat. Bola mataku bergerak liar mengawasi situasi, aku tak ingin jantungku copot jika tiba-tiba sebuah wajah penuh darah muncul begitu saja di depanku.

Bulu kudukku meremang tiap kali hembusan angin dingin meniup telingaku. Tiap detik yang berlalu tanpa ada apapun justru semakin menyiksaku. Berkali-kali kakiku refleks ingin bergerak kabur, namun dengan sedikit nyali yang tersisa keinginan itu selalu berhasil kutepis. Gemetar di tanganku kian sulit kukendalikan.

Jangan takut, jangan takut, jangan takut. Aku terus mengulang-ulang kalimat yang sama seakan mantra.

Nafasku kian cepat dan jantungku semakin berpacu kala kusadari tempat ini kelewat sunyi. Telingaku tersiksa mencari satu saja sebuah bunyi yang mengindikasikan aku sedang tidak di lain dimensi. Satu-satunya yang bergerak hanya kabut kelabu yang mengalir ke arahku tanpa suara.

Kabut?

Aku terkesiap. Terlambat menyadari yang terjadi, kabut itu menelanku dalam sekejap mata.

Namun di luar dugaan, walau jarak pandang terbatas, aku justru merasakan tenang. Jantungku kembali berdetak normal, begitu pun nafasku.

Ketika akhirnya kabut pelan-pelan tersibak, bukan Kandang Badak yang ada di depanku melainkan sebuah tempat asing. Lamat-lamat kudengar suara percikan air, awalnya samar, seiring telingaku yang mulai terbiasa, suara air itu kian membesar dan membesar.

Tidak, aku tidak panik. Bahkan sebelum pandanganku tersingkap, aku tahu itu adalah suara air terjun. Suara air jatuh itu justru menenangkan. Juga keadaan disini pun tak berbeda dengan Kandang Badak, kabut tebal nampak dimana-mana, tak terkecuali di tempat deburan air yang jatuh. Langit yang sejak tadi mendung akhirnya membagi hujan rintiknya disini. Anehnya aku merasa nyaman dan tak kebasahan.

Air terjun itu kira-kira setinggi tiga belas meter tegak lurus. Sebuah batu besar berada tepat di tengahnya dan membagi aliran airnya menjadi dua. Semak dan akar mencuat di kedua sisi tebingnya. Batu-batu berlumut berserakan di sekitar aliran air, menandakan tempat itu sudah lama tak terjamah orang. Dan nampaknya juga tak ada akses sama sekali, tempat itu terkurung semak yang rapat, tumbuhan di lantai hutan sekitarnya saling memilin setinggi dada orang dewasa. Satu-satunya cara mencapai tempat ini hanya dari tebing di atas air terjun itu. Bekas longsoran di tebing sebelah kanan juga menguatkan dugaanku.

Lalu telingaku menangkap sesuatu, pelan sekali, tapi yang jelas itu suara manusia. Suasana yang kian gelap menyulitkanku menemukan sumber suara tersebut. Aku tak dapat memastikan apakah itu suara erangan atau tangisan. Suara itu timbul tenggelam diantara deburan suara air terjun.

Saat kabut kelabu terbuka di belakangku barulah terlihat yang kucari. Itu adalah tangisan seorang laki-laki yang sepertinya sebaya denganku. Rambutnya lepek dan kusut membuat wajahnya tak terlihat tertutup rambut yang jatuh. Kaki kanannya menekuk dengan ganjil, apakah patah? Sebelah sisi kanan tubuhnya penuh guratan berdarah. Dia duduk bersandar di sebuah pohon besar. Kedua tangannya dengan lemah memeluk seorang perempuan yang nampaknya sudah tak bernyawa. Wajah perempuan itu terlihat bersih, laki-laki itu pasti sudah membersihkannya karena seluruh tubuh perempuan itu tertutup lumpur dan darah yang mulai mengering. Kondisi perempuan itu lebih memprihatinkan, leher dan kedua kakinya patah.

Laki-laki itu nampaknya berada diambang batas ketahanannya. Beberapa kali kepalanya terkulai. Dia pingsan. Saat kesadarannya kembali, Isak tangisnya yang menggiriskan hati kembali terdengar. Kabut tipis melayang lalu hilang disapu angin, gerimis pelan-pelan membersihkan luka menganga di dahinya. Saat kilat menyambar, kulihat mata kanannya bengkak dan mulai bernanah.

Sosok lain bergerak diam-diam diantara semak. Berjingkat pelan dan semakin mendekat. Aku melihatnya, laki-laki itu juga melihatnya.

Dengan tegang aku menahan nafas saat melihat laki-laki itu berusaha mengambil batu yang agak jauh di luar jangkauannya, sementara sosok hitam itu semakin mendekat.

Tangan dan jantungku bergetar saat laki-laki itu dengan menahan kesakitan yang teramat sangat akhirnya mampu meraih batu terdekat. Dapat kulihat tangan laki-laki itu juga gemetar hebat. Sementara sosok hitam berkaki empat itu semakin mendekat.

Dengan panik tangan kanan laki-laki itu menarik tubuh teman perempuannya ke sisi kanan tubuhnya, sementara tangan kirinya yang memegang batu terkulai lemah ke tanah.

Jantungku bergemuruh melihat jarak yang semakin dekat antara laki-laki itu dengan seekor macan kumbang hitam yang mendengus-dengus kelaparan. Aku tak mampu lagi melihat saat akhirnya macan kumbang itu merangsek maju dan menerjang. Batu di tangan kirinya tak sempat terangkat, dia sudah kehabisan tenaga.

Sebuah teriakan membahana memecah kesunyian hutan. Menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya. Itu adalah teriakan terakhir laki-laki itu. Di bawah guyuran hujan, dia terlihat kalah dan putus asa. Dengan sebelah matanya yang masih bisa digunakan, dia menyaksikan dengan diam saat taring macan kumbang itu merobek daging dari tubuh kaku teman perempuannya lalu menariknya menuju kegelapan.

Airmata terakhir tumpah dari matanya. Bibirnya bergerak pelan mengucapkan sebuah kata sebelum akhirnya diam selamanya. 

 

1 komentar:

  1. Best casinos in the world to play blackjack, slots and video
    hari-hari-hari-hotel-casino-online-casinos-in-us · herzamanindir blackjack (blackjack) · roulette gri-go.com (no Blackjack Video Poker 바카라 사이트 · https://deccasino.com/review/merit-casino/ Video Poker · Video Poker herzamanindir.com/ · Video poker

    BalasHapus

×
Cerita Terbaru Update